23/11/09

Latar belakang terjadinya proklamasi

Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
Indonesian flag raised 17 August 1945.jpg

Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 14 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.

Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI.[1] Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.

Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang (sic).

Indonesia flag raising witnesses 17 August 1945.jpg

Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.

Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.

Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.

Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.

Peristiwa Rengasdengklok

Gambar disamping adalah Monumen Kebulatan Tekad yang melambang kan kebulatan tekad Ir Soekarno dalam memutuskan proklamasi kemerdekaan (rengasdengklok). Peritiwa ini terjadi karena Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana --yang konon kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka --yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.

Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia

Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Mayor Nishimura dan Laksamana Muda Maeda


Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Maeda Tadashi dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokio bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi ijin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.

Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power". Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.

Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.[2] Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56[3] (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).

21/11/09

BUNG KARNO MENJELANG PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA 1


Ir. Soekarno (Bung Karno) didampingi Drs. Mohammad Hatta (Bung Hatta) sedang memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 pagi di Pegangsaan Timur 56 Jakarta (sekarang jalan Proklamasi). Soekarno membaca naskah Proklamasi yang sudah diketik Sajuti Melik dan telah ditandatangani Soekarno-Hatta.

-

Pegangsaan Timur 56, 17 Agustus 1945.

-

Pada hari Jumat, bertepatan dalam bulan suci Ramadhan itu matahari pagi bersinar cerah dan langit biru bening. Tidak seperti suasana sehari sebelumnya, pagi itu rumah kediaman Bung Karno ramai dikunjungi orang, baik di pendapa dan halaman. Ketika saya (dr R. Soeharto, dokter pribadi bung Karno) masuk, ternyata di halaman belakang tampak lebih banyak orang lagi.

-

Sewaktu saya menuju ke kamar Bung Karno dan keluarganya, mendadak berpapasan dengan dr. Muwardi. “Masih tidur semua. Semuanya beres !” katanya. “Apa yang beres ?” tanya saya.

-

Dr. Muwardi menunjuk kepada kelompok orang-orang di halaman belakang sambil berkata: “Itu barisan berani mati yang saya pimpin. Sudah diputuskan, pembacaan Proklamasi Kemerdekaan akan dilangsungkan pagi ini, tapi saatnya yang tepat masih akan ditentukan oleh Bung Karno. Ia baru masuk kamar tidurnya menjelang subuh sekembalinya dari rapat di rumah Maeda (Maeda adalah Laksamana Angkatan Laut Jepang, wakil dari Laksamana Shibata yang berkedudukan di Jakarta. Sedangkan Laksamana Shibata adalah Panglima Kaigun (Angkatan Laut) Jepang yang membawahi Nusantara kecuali Sumatera dan Jawa. Menurut pembagian kekuasaan Balantentara Jepang, Sumatera diduduki oleh divisi 25, Jawa dan Madura diduduki oleh divisi 16 Angkatan Darat Jepang. Laksamana Shibata sebenarnya bermarkas di Makassar, Sulsel, tapi karena kota itu sudah menjadi sasaran pemboman Sekutu, untuk sementara ia bermarkas di Singaraja, Bali).

-

Mendengar kata Maeda, saya teringat akan perjalanan Bung Karno, Bung Hatta dan Pak Bardjo (Pak Bardjo – Mr. R. Achmad Subardjo – lahir tahun 1897, lulusan Fakultas Hukum Universitas Leiden, Nederland/Belanda, pernah menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda), dan pernah menetap di Jepang sebagai koresponden) ke Bali, dan pertemuan para pemimpin Indonesia dengan Laksamana Shibata di Singaraja.

-

Apakah Maeda dan kawan-kawannya akan menepati janjinya hendak memberi bantuan kepada Bung Karno dan Bung Hatta ? Bantuan dalam bentuk apa?

-

Kira-kira pukul 8.00 (menurut perkiraan saya Bung Karno sudah tidur dan beristirahat selama 4 jam) saya masuk ke dalam kamarnya. Memang waktu yang diperlukan untuk tidur oleh Bung Karno setiap harinya kira-kira 4 jam. Ternyata ia masih tidur, tapi segera terbangun oleh sentuhan tangan saya.

-

Pating greges (maksudnya badannya serba terasa sakit),” katanya setelah membuka mata. Meriang (demam). Saya raba, badannya memang panas. Tidak jarang, dalam keadaan lelah sekali Bung Kano sekonyong-konyong dan untuk beberapa jam lamanya mengalami panas badan. Gejala itu timbul setelah ia menderita penyakit malaria tertiana dalam kunjungannya ke Makassar. Pengobatan dengan kinine dapat menolongnya, meskipun dalam pemeriksaan laboratoris dalam darahnya tidak ditemukan lagi malaria plasmodium. Prof. Hendarmin pernah mengatakan setelah memeriksa kesehatan Bung Karno, gejala itu (demam) mungkin disebabkan oleh tonsilitis chronica (radang tonsil yang kronis).

-

Segera saya memeriksa Bung Karno. Meskipun saya tidak menemukan gejala-gejala lain, tapi atas persetujuannya saya memberikan suntikan chinine-urethan intramusculair, selanjutnya mempersilahkan minum broom chnine.

-

Keluar dari kamar, saya betemu dengan Zus Fat (Ibu Fatmawati, isteri Bung Karno). saya terangkan keadaan Bung Karno dan mengemukakan saran agar Bung Karno dibiarkan tidur sampai panasnya mereda.

-

“Baik Mas,” kata Zus Fat (ibu Fatmawati). “Saya sendiri sebetulnya capek sekali setelah kembali dari Rengasdengklok dan menyelesaikan pembuatan bendera merah-putih yang akan dikibarkan hari ini.”

-

Saya kembali ke dalam kamar Bung Karno dan terus menungguinya. Kira-kira pukul 9.30 ia bangun, dan badannya sudah tidak panas lagi. “Sudah jam setengah sepuluh, Mas,” kata saya.

-

Bung Karno segera turun dari tempat tidur sambil berkata: “Minta Hatta segera datang !”

-

Saya keluar mencari dr. Muwardi, tapi ia tak dapat segera saya jumpai. Kemudian pesan Bung Karno itu saya sampaikan kepada Latief Hendraningrat, yang kala itu mengenakan pakaian opsir PETA.

-

Ketika saya kembali ke kamar Bung Karno, ia sudah berpakaian rapi, didampini Zus Fat. Bung Karno mengenakan busana serba putih: celana lena putih dan kemeja putih dengan potongan yang disebut secara populer waktu itu sebagai “kemeja pemimpin” (lengan panjang, bersaku 4, dengan ikat pinggang di belakang). Ia tampak tampan dan gagah, penuh percaya diri, serta berpenampilan yang meyakinkan.

-

Begitu mendengar Bung Hatta datang, ia keluar dan menyambutnya di gang, lalu berjalan bersama menuju ke pendapa.

-

Upacarapun dimulai. Saya tidak ingat lagi siapa yang mempersilahkan Bung Karno membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan. Yang saya ingat ia membacanya dari kertas berukuran kecil. Kata-kata diucapkan dengan tenang dan terang :

-

“Saudara-saudara sekalian. Saya telah minta saudara-saudara hadir di sini untuk menyaksikan satu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun.

-

Gelombang aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti-henti. Di dalam jaman Jepang ini, tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita percaya kepada kekuatan sendiri.

-

Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya.

-

Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarat dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia, dari seluruh Indonesia. Permusyawaratan itu seia sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.

-

Saudara-saudara! Dengan ini kami nyatakan kebulatan tekad itu.

-

Dengarlah proklamasi kami:

-

PROKLAMASI

-

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia.

-

Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

-

Jakarta, 17 Agustus 1945

-

Atas nama bangsa Indonesia

Soekarno – Hatta——-

-

Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka! Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun Negara kita. Negara Merdeka, Negara Republik Indonesia – Merdeka, kekal dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu.”

-

Dengan diiringi lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan oleh segenap hadirin, Latief Hendraningrat mengibarkan bendera Sang Merah Putih.

-

Selanjutnya hadirin berdesak-desak hendak menyalami Bung Karno, Bung Hatta dan Zus Fat, dan juga saling bersalaman.

-

Setelah Bung Hatta pulang dan Bung Karno mengundurkan diri ke kamar, saya pun pulang. Di tengah jalan timbul keheranan hati saya, mengapa di antara orang-orang yang mengecam Bung Karno dan Bung Hatta yang dianggap terlalu lunak sikapnya terhadap Jepang, dan mendesak keduanya agar segera memproklamasikan Indonesia Merdeka, justru tidak hadir pada upacara tadi? Takut? Tidak setuju? Tidak diberi tahu? Atau bersikap Laat Sukarno en Hatta de kastanjes uit het vuur halen?“ Sejarah yang akan dapat memberikan jawabannya.

-

Banyak di antara mereka yang menyaksikan upacara pembacaan Proklamasi Kemerdekaan terheran-heran, mengapa Jepang tidak bertindak mencegah dan melakukan penangkapan serta tindakan kekerasan lain? Saya dapat menjawabnya, bahwa hal itu bukan keajaiban, melainkan hasil brilian dari usaha Bung Karno dan Bung Hatta, dan tentunya dengan berkah ALLAH SWT.

-

BUNG KARNO MENJELANG PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA 2

Proklamasi Kemerdekaan tanpa pertumpahan darah, tanpa banyak manusia Indonesia harus menjadi korban, itulah yang diusahakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta dengan bantuan Pak Bardjo, yang sebagai patriot-patriot senantiasa menempatan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan golongannya.
-

Bung Karno dan Bung Hatta mengetahui bahwa sejak akhir tahun 1944 Jepang tidak dapat lagi mengimbangi kekuatan militer Sekutu, dan “terpaksa“ harus memberikan kemerdekaan atau berjanji memberikan kemerdekaan kepada bangsa di daerah-daerah yang didudukinya, guna menarik simpati mereka untuk melawan Sekutu. Dengan memperhatikan siaran-siaran radio Belanda, Bung Karno dan Bung Hatta juga mengetahui, jika Sekutu dapat merebut Indonesia, Belanda akan didudukkan kembali oleh Sekutu seperti kedudukannya sebelum perang. Ini berarti Nederlands Indie berdiri kembali.

-

Karena itu yang menjadi musuh utama ialah Belanda, yang dengan bantuan Sekutu pasti tidak lama lagi akan datang ke Indonesia, serta dengan menggunakan Jepang yang sudah kalah sebagai kekuatan yang berkewajiban menjaga keamanan. Dalam keadaan demikian kita akan berhadapan dengan 2 kekuatan, yaitu Sekutu/Belanda dan Jepang. Itu harus dicegah. Karena itu Bung Karno dan Bung Hatta harus bersikap lunak terhadap Jepang, dalam arti tidak mengadakan penyerangan terhadap Jepang, dan mendekati pejabat-pejabat Jepang yang ingin menanam kebaikan demi hubungan baik antara Jepang dan Indonesia dikelak kemudian hari.

-

Maeda dan kawan-kawannya adalah pejabat-pejabat Jepang yang dimaksudkan itu, yang dalam hal itu mendapat restu dari atasannya, Laksamana Shibata, seperti apa yang terjadi dalam pertemuan di Singaraja.

-

Adapun konsensus rahasia yang dicapai antara Bung Karno dan Bung Hatta (atas bantuan Maeda dan kawan-kawannya, didalam kelompok ini termasuk jenderal-jenderal Angkatan Darat Jepang di Jakarta) dengan penguasa Jepang di Jakarta kurang lebih sebagai berikut :

-

Pertama, penguasa Jepang pura-pura tidak mengetahui bahwa Indonesia Merdeka akan diproklamasikan, oleh karena itu tidak sempat mencegahnya.

-

Kedua, setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, penguasa Jepang secara resmi melakukan protes (tidak setuju) tapi berjanji tidak akan melakukan tindakan kekerasan dalam segala bentuk.

-

Ketiga, Bung Karno dan Bung Hatta berjanji, naskah Proklamasi Kemerdekaan akan disusun sedemikian rupa, sehingga tidak memuat kata-kata yang dapat menghasut masyarakat untuk menyerang orang-orang Jepang, dan juga tanpa kata-kata yang menandakan bahwa Proklamasi Kemerdekaan dinyatakan dalam rangka pelaksanaan tugas dari Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

-

Perlu diingat, dalam persetujuan penyerahan Jepang kepada Sekutu terdapat ketentuan, bahwa Jepang harus mempertahankan keadaan status quo. Teks Proklamasi (lihat teks Proklamasi di atas) disusun antara lain juga memperhatikan ketentuan tersebut.

-

Kita mengetahui, konsensus itu telah dilaksanakan. Dan naskah Proklamasi yang pendek dan padat itu sesuai dengan harapan Jepang.

-

Kita juga menyaksikan, Jepang pada tanggal 17 Agustus 1945 dan seterusnya tidak melakukan kekerasan di Jakarta. Bahkan beberapa orang Jepang, diantaranya Laksamana Shibata di Surabaya menyerahkan banyak senjata kepada kita. Juga banyak pejabat Jepang dengan sukarela menyerahkan jabatannya kepada wakilnya, berkebangsaan Indonesia, seperti jabatan Residen diserahkan kepada wakilnya yang berkebangsaan Indonesia.

-

Tapi ada juga yang kita sayangkan karena lengah: PETA (Tentara Pembela Tanah Air terdiri dari orang-orang Indonesia yang dibentuk oleh Jepang, untuk membantu Jepang di medan perang) praktis sudah dibubarkan pada detik Proklamasi. Daidancho (komandan batalyon berpangkat mayor) PETA Jakarta dan para daidancho lainnya pada tanggal 17 Agustus 1945 itu tidak ada di tempat, tapi dikumpulkan di Bandung (?), dan senjata-senjatanya sudah diamankan oleh pihak Jepang. (Sumber: dicuplik dari buku berjudul Saksi Sejarah“ oleh Dr. R. Soeharto).

-

PK 2 Konsep (draft) asli teks proklamasi yang ditulis oleh Bung Karno.

-

-

PK 3 Naskah Proklamasi yang diketik oleh Sajuti Melik dan telah ditandatangani Soekarno-Hatta. Naskah asli proklamasi ini ditempatkan di Monumen Nasional (Monas) Jakarta.

-

-

PK 4 Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih yang dijahit oleh Ibu Fatmati Soekarno digebyarkan di depan para saksi, setelah pembacaan proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, siap dinaikkan ke atas tiang bendera. Pengibar bendera adalah Latif Hendraningrat. Bendera Pusaka ini dikibarkan kembali setiap tahun pada tanggal 17 Agustus untuk memperingati detik-detik yang paling penting dalam sejarah bangsa Indonesia. (Mulai tahun 1968 bendera yang dikibarkan adalah duplikatnya untuk menjaga agar Bendera Pusaka tidak rusak).

-

-

PK 5 Upacara pengibaran Sang Saka Merah Putih di halaman gedung Pegangsaan Timur 56, Jakarta, sesaat setelah pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

-

-

PK 6Rumah Bung Karno di Jl. Pegangsaan Timur no. 56, Jakarta.

-